Mawlana Syekh Hisyam Kabbani
24 November 2011 Burton, Michigan
Shuhbah di Masjid As-Siddiq
A`udzu billahi min asy-Syaythaani 'r-rajiim. Bismillahi 'r-Rahmaani 'r-Rahiim.
Nawaitu 'l-arba`iin, nawaitu 'l-`itikaaf, nawaitu 'l-khalwah, nawaitu 'l-`uzlah,
nawaitu 'r-riyaadhah, nawaitu 's-suluuk, lillahi ta`ala fii haadza 'l-masjid.
أَطِيعُواْ اللّهَ وَأَطِيعُواْ الرَّسُولَ وَأُوْلِي الأَمْرِ مِنكُمْ
Athi`uullaha wa athi`uu 'r-Rasuula wa uuli 'l-amri minkum.
Taatilah Allah, taatilah Rasul-Nya, dan taatilah para ulil amri di antara kalian. (4:59)
Saya mendengar dari Mawlana Syekh Nazim, semoga Allah memberinya umur panjang, bagian dari shuhbat, di mana beliau menyebutkan poin yang amat penting, yang amat syafaafa,
transparan, sehingga kalian nyaris tidak bisa menangkapnya. Beliau
bicara tentang sebuah konferensi, dan bahwa orang-orang zaman sekarang
membuat banyak konferensi di mana orang-orang yang hadir datang dan
pergi, di mana hanya uang yang diberikan untuk menunjukkan bahwa mereka
melakukan sesuatu.
Sekarang
orang-orang menghadiri konferensi yang terbuka untuk umum, untuk
pertemuan sosial, untuk membangun hubungan, untuk saling mengenal, dan
itulah kearifan dari hal itu. Ada konferensi-konferensi lain di mana
para ulama berkumpul untuk mengeluarkan fatwa yang kita butuhkan
sekarang ini, ulama dari berbagai latar belakang, mereka mengikuti
mazhab pemikiran yang berbeda-beda dan berkumpul bersama selama beberapa
hari, membawa penyelesaian siap-pakai yang mereka adopsi.
Apakah
ada hal lain yang kadang-kadang bermanfaat? Poin terpenting yang
disebutkan Mawlana adalah, ada dua elemen dalam Islam, dan tidak ada
yang ketiga: yang ada hanyalah halal dan haram, untuk mengetahui, “Ini
halal, ini haram, dan apa yang di antaranya adalah sesuatu yang lain.”
Yang halal adalah haqq dan yang haram adalah batil. Apa yang haqq
harus diterima dan apa yang batil harus ditinggalkan. Ini sebuah
penjelasan. Jika kalian ingin berada di jalan tol yang haqq, kalian
tidak bisa keluar dari Shiraat al-Mustaqiim,
karena kalian akan jatuh ke dalam kebatilan. Jalan tol kedua adalah
batil, yang jika kalian keluar darinya, kalian akan menuju haqq. Kalian
disarankan untuk tidak keluar dari jalan tol haqq; malah, disarankan
untuk keluar dari jalan tol batil dan menghancurkannya.
Jadi
ketika para ulama bertemu – dan Mawlana Syekh secara khusus membuat
poin ini – mereka harus memiliki satu opini, yakni opini haqq
(kebenaran). Mungkin ada perbedaan dalam penjelasan mereka dan dalam
pertemuan mereka, kalian mungkin melihat mereka saling menyerang pada
berbagai pokok bahasan. Namun, signifikansinya adalah bahwa jika mereka
berada dalam kebenaran (haqq), mereka tidak perlu saling menyerang,
karena opini-opini harus didasarkan pada apa yang dicontohkan oleh Nabi
(s). Jadi ilmu, pengetahuan, harus merupakan pengetahuan akan kebenaran
(haqq), dan tidak ada yang lain!
الرَّحْمَنُ عَلَّمَ الْقُرْآنَ
Ar-Rahmaan `alam al-Qur'an.
(Tuhan) Yang Maha Pemurah. Dia telah mengajarkan Al-Qur’an. (ar-Rahmaan, 55:1,2)
Allah yang mengajarkan. al-`Alim Huw Allah.
Kita tidak bisa mengatakan yang ini atau yang itu orang ‘alim, karena
‘alim yang sebenarnya hanya didefinisikan oleh deskripsi Nabi (s):
علما امتي كانبيا بني اسرائيل
`ulamaa ummattii ka-anbiyaa Bani Israa`iil.
Para ulama dari umatku adalah seperti para nabi Bani Israa’iil. (Ihya)
العلماء ورثة الأنبياء
al-`ulamaa waratsat al-anbiyaa
Para ulama adalah pewaris para nabi. (Abu Dawud, at-Tirmidzi, dan ibn Majah dalam kitab Sahih.)
Beliau
mengangkat ulama begitu tinggi seperti para nabi Bani Israil. Itu
artinya ulama harus sangat transparan (jernih) dalam pengetahuan mereka,
sehinga mereka tidak akan takut pada siapa pun atau apa pun di Jalan
Allah! Mereka harus menginjak ego mereka dan mengatakan kebenaran!
Mereka tidak boleh takut kepada keluarga, masyarakat atau pemerintah
mereka! Mereka harus berdiri dan bicara yang haqq, karena Kebenaran
adalah Kebenaran!
Sayyidina
`Umar (r) bertanya kepada Nabi (s), “Apakah kita berada dalam kebenaran
atau tidak?” Beliau menjawab, “Ya.” Lalu Sayyidina `Umar (r) naik ke
atap dan menyerukan azan.
Ketika
Nabi (s) mengatakan para ulama adalah seperti Bani Israil, siapakah
para ulama itu? Apakah mereka lulusan dari Harvard, Columbia
Presbyterian atau Universitas Stanford, atau apakah istilah “ulama”
bermakna sesuatu yang lain? Tentu saja!
وَإِنَّكَ لَعَلى خُلُقٍ عَظِي
wa innaka la `ala khuluqin `azhiim.
Sesungguhnya Engkau berbudi pekerti yang luhur. (al-Qalam, 68:4)
Ini
berarti agar para ulama bisa menjadi seperti para nabi Bani Israil,
kualifikasinya adalah mereka harus berbudi pekerti luhur. Artinya,
mereka bukan ulama yang sudah menghafal buku-buku, karena Nabi (s) tidak
menghafal buku apa pun; beliau buta huruf, yang menunjukkan kebesaran
kedatangannya dengan Al-Qur’an Suci, dan bahwa Allah Huwa al-`Aliim,
“Dia Yang Maha Mengetahui.” Jadi dengan budi pekerti luhur ini, Allah
(swt) mengajarkannya al-Qur’an Suci.
Jadi Nabi (s) berkata:
أدبني ربي فأحسن تأديبي
adabanii rabbii fa-ahsana taa'diibii.
Allah meninggikanku dan menyempurnakan akhlakku.
Dan
Allah membuatnya Muhammad al-Amiin, “Yang Dipercaya.” Dipercaya dengan
apa? Beliau adalah Amiin al-Kawn, “Yang Dipercaya atas Ciptaan-Nya.”
Beliaulah yang bertanggung jawab untuk semua makhluk yang Allah
ciptakan. Beliau adalah “`AbdAllah,” yang Allah percayai karena Dia
menyempurnakannya dan beliau rida menjadi `abd, hamba Allah, Penciptanya. Allah menaikkannya karena beliau amiin (dapat dipercaya).
قَالَ اجْعَلْنِي عَلَى خَزَآئِنِ الأَرْضِ إِنِّي حَفِيظٌ عَلِيمٌ
Qaala ij`alanii `alaa khazaa'in al-ardhi innii hafiizhan `aliim.
(Yusuf) berkata: “Jadikanlah aku bendaharawan: Sesungguhnya aku sanggup memelihara dan berilmu.” (Yusuf, 12:55)
Sayyidina
Yusuf (a) berkata kepada Raja Mesir, “Jadikan aku bendaharawan, yang
dipercaya dengan kekayaan dunia.” Nabi (s) tidak berkata, “Jadikan aku
orang yang dipercayai dengan kekayaan Dunia,” dan Allah (swt)
mempercayakannya dengan kekayaan seluruh jagad raya, dengan mengatakan,
“Karena engkau adalah al-Amiin, Aku mempercayakanmu dengan al-Qur’an
Suci, yang merupakan rahasia dari Langit dan Bumi.”
Kita mengatakan seperti yang tertulis dalam al-Qur’an, “Alif Laam Miim,” atau, “Tha Ha,” “Ya Siin,” atau, “Qaf Haa Yaa,” atau, “`Ain Shaad.” Itu adalah huruf-huruf. Ketika Allah mengatakan, “Alif Laam Miim,”
pasti itu ada artinya. Itu merupakan kode. Jika kalian membuka kode
itu, kalian bisa melihat harta karun. Nabi (s) memiliki kunci bagi
kode-kode ini, karena Allah mengirimkan al-Quran kepadanya dan
memberinya kunci-kuncinya.
لَوْ أَنزَلْنَا هَذَا الْقُرْآنَ عَلَى جَبَلٍ لَّرَأَيْتَهُ خَاشِعًا مُّتَصَدِّعًا مِّنْ خَشْيَةِ اللَّهِ
law anzalnaa haadzaa al-Qur’ana `alaa jabalin la-ra'aytahu khaashi`aan mutasaddi`an min khashiyatillah.
Jika sekiranya Kami turunkan al-Qur’an kepada gunung, tentu akan kamu lihat ia tunduk karena takut kepada Allah. (Al-Hashr, 59:21)
Tapi
Allah menurunkan al-Qur’an kepada Nabi (s) dan beliau mampu membawanya,
jadi beliau pasti berbudi pekerti luhur, dan dengan kondisi itulah
Allah mempercayainya. Itu sebabnya Nabi (s) berkata, adaabanii rabbii wa ahsana taa'diibii, jadi ulama yang seperti para nabi Bani Israil adalah mereka yang Allah sebutkan:
أَلا إِنَّ أَوْلِيَاء اللّهِ لاَ خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلاَ هُمْ يَحْزَنُونَ
`alaa inna awliyaullahi laa khawfun `alayhim wa laa hum yahzanuun.
Ingatlah! Sesungguhnya para wali Allah tidak merasa takut dan tidak pula berduka cita. (al-Yunus,10:62)
Mereka
adalah ulama-ulama saleh yang berjalan di jalan tol haqq, bukan jalan
tol batil! Jadi akhlak yang baik adalah kunci untuk menjadi seorang
alim dalam jejak langkah para nabi Bani Israil. Untuk mencapai
keputusan, sebelum mereka belajar dan menghafal serta menjadi Doktor dan
menyebut diri mereka doktor, para ulama harus memiliki adab al-kalaam,
sopan santun dalam berbicara. Itu artinya mereka tidak saling
menyerang, mengatakan yang ini telah melakukan bid’ah, yang itu kafir,
yang itu mengikuti hal yang haram, dll. Ulama yang sesungguhnya
haruslah orang-orang terbaik, orang-orang terhormat, afaadil an-naas,
berbudi luhur dan adil. Jadi memiliki adab itu penting jika kalian
sungguh ingin menjadi seorang alim dalam Islam, maka Allah (swt) akan
membukakan kepada kalian dari al-ladunni `ilm, ilmu laduni atau pengetahuan surgawi. Bukti dari hal ini terdapat dalam al-Qur’an:
فَوَجَدَا عَبْدًا مِّنْ عِبَادِنَا
Fawajadaa `abdan min `ibaadinaa.
Kemudian mereka bertemu dengan seorang hamba Kami yang Kami beri rahmat dan Kami ajarkan pengetahuan. (al-Kahf: 18:65)
Jadi
ketika Sayyidina Musa (a) ingin termasuk dalam orang-orang yang
memiliki ilmu, ia harus bersabar, karena jika kalian tidak bersabar
dengan apa yang kalian lihat di depan kalian, kalian tidak akan pernah
meraih pengetahuan yang lebih tinggi. Jadi meskipun Sayyidina Musa (a)
adalah termasuk Ulul al- ‘Azam, Lima Nabi Terbesar, dibandingkan dengan
Rasulullah (s), ia tidak memiliki pengetahuan yang sama. Jadi adab
dibutuhkan untuk ilmu; tanpanya ilmu tidak berarti.
Bukti
dari hal ini terdapat dalam Surat al-Kahf, ketika Sayyidina Musa (a)
bertemu dengan salah satu hamba Allah yang tingkat kesabarannya sangat
tinggi, dan Musa (a) berkata, “Jika Allah berkehendak, kamu akan
melihatku bersabar,” yang dijawab oleh Sayyidina Khidr (a), “Kamu tidak
bisa, karena hal itu mustahil bagimu.”
Musa (s) berkata, “Tidak, ujilah aku.”
Khidr
(a) menjawab dengan rendah hati, “Meskipun engkau adalah Musa, dari
tingkat nabi-nabi yang tertinggi, engkau tidak akan bisa bersabar
denganku karena aku telah dibusanai dengan adab dan aku diberikan ilmu
untuk itu.”
Ketika Sayyidina Musa (a) takut kepada Fir’aun, Allah (swt) berkata:
قَالَ لَا تَخَافَا إِنَّنِي مَعَكُمَا أَسْمَعُ وَأَرَى
Qaala laa takhaafaa innanii ma`akumaa asma`u wa araa.
Allah berfirman, “Janganlah kamu takut, Aku besertamu. Aku mendengar dan melihat (segala sesuatu). (Tha Ha: 20:46)
Jadi
di manakah bukti bahwa adabnya adalah alasan ia mendapatkan ilmu?
Allah 'Azza wa Jall dengan indahnya mendeskripsikan pertemuan Sayiddina
Musa (a) dengan Sayyidina Khidr (a):
فَوَجَدَا
عَبْدًا مِّنْ عِبَادِنَا آتَيْنَاهُ رَحْمَةً مِنْ عِندِنَا
وَعَلَّمْنَاهُ مِن لَّدُنَّا عِلْمًا قَالَ لَهُ مُوسَى هَلْ أَتَّبِعُكَ
عَلَى أَن تُعَلِّمَنِ مِمَّا عُلِّمْتَ رُشْدًاقَالَ إِنَّكَ لَن تَسْتَطِيعَ مَعِيَ صَبْرًا
fawajadaa
`abdan min `ibaadinaa aataynaahu rahmatan min `indina wa `allamnaahu
min ladunnaa `ilmaa. Qaala lahu Musaa hal attabi`uka `alaa an
tu`alimmanii mimma `ullimta rusyda? Qaala innaka lan tastathi`a ma`iya
shabraa.
Kemudian
mereka bertemu dengan seorang hamba Kami yang kepadanya telah Kami
berikan rahmat dan Kami ajarkan pengetahuan dari Hadirat Kami. Musa
berkata kepadanya, ‘Bolehkah aku mengikutimu agar engkau ajarkan
kepadaku ilmu-ilmu yang diajarkan Tuhan kepadamu?” Yang lain berkata,
‘Engkau tidak akan sabar ikut bersamaku.’” (al-Kahf, 18:65-67)
Rahmat itu adalah Rasulullah (s), Rahmatan lil-`Alamiin, “Rahmat bagi seluruh alam,” dan juga al-Rahmat al-Muhdaat,
“Yang Dikaruniai Rahmat bagi Kemanusiaan.” Jadi artinya Khidr (a), sang
hamba Allah, dibusanai dari rahmat itu. Tingkat rahmat tertinggi
adalah diberikan adab, akhlak yang baik; karenanya, untuk diberikan adab
kalian harus berada di bawah rahmat. Kalian tidak akan bisa berada di
bawah rahmat jika kalian adalah pencuri, pembohong, atau lebih buruk.
Tetapi mereka yang berada di jalan tol Shiraat al-Mustaqiim,
akan dibusanai dengan adab yang berasal dari Rasulullah (s), yang
berarti, “Jika Aku merahmatimu, Aku akan mengajarkanmu adab yang lebih
tinggi.” Itu sebabnya adab, akhlak tertinggi, diajarkan di
sekolah-sekolah, yang mereka klaim bukan berasal dari agama; namun,
realitas akhlak adalah dari agama, dari Nabi Nuh, Musa, Ibrahim, Isa,
atau Nabi Muhammad (s).
Ketika
Qabil datang untuk membunuh Habil, Habil berkata, “Jika kamu
menjulurkan tanganmu untuk membunuhku, aku tidak akan menjulurkan
tanganku untuk membunuhmu.” Itu adalah adab, dan syahaama,
kekesatriaan. “Aku tidak akan menjulurkan tanganku untuk membunuhmu
karena kau adalah saudaraku,” jadi Qabil membunuhnya. Mereka yang punya
adab, dibusanai oleh Nabi (s) dan, karenanya, mereka seperti para nabi
Bani Israil, yang dibusanai oleh Rasulullah (s) dengan budi pekerti
luhur dan rahasia-rahasia.
Jika
kita memeriksa definisi rata-rata “ulama,” setiap orang adalah alim
hingga ke tingkat pengetahuannya, tetapi dalam Islam hal itu tidak
memenuhi persyaratan menjadi seorang alim. Berkenaan dengan ulama saat
ini, yang belajar di universitas-universitas, Mawlana Syekh Nazim (q)
mengatakan agar mereka memiliki adab dahulu lalu belajar, maka kalian
akan mencapai ilmu tingkat tinggi, yang hanya bisa kalian dapatkan dari
Rasulullah (s); maka kalian akan dianggap seorang yang alim. Jika
tidak, siapa pun dan setiap orang merupakan seorang alim; misalnya,
seorang anak yang bisa mendapatkan SIM, maka ia adalah seorang alim
dalam mengemudi!
Kita
meminta kepada Allah untuk membawa kita dari kegelapan menuju
Cahaya-Nya, “Wahai Tuhan, Yang membawa dari kegelapan kepada cahaya!”
Semoga Allah mengampuni kita dan mengampuni semuanya.
Wa min Allahi 't-tawfiiq, bi hurmati 'l-habiib, bi hurmati 'l-Fatihah.
http://sufilive.com/print/?id=3941&lc=BH
Tidak ada komentar:
Posting Komentar