Thariqat adalah suatu kebersamaan dengan syaikh, untuk
melebur ego, ke dalam suasana adab agar hati yang bersangkutan bisa merasakan
arti fana missal fi adhomatil akhirat. Bukan suntuk cuma dengan dunia saja.
Thariqat juga tentang azimah, keterkaitan dengan Rasulullah, akhlaknya,
sunnahnya, tentang adhomatil Quran; tentang kemaslahatan hidup; tentang iklim
saling kecintaan terhadap sesama manusia; tentang barokah kesalehan; tentang
pertalian antara hamba dengan Allah; tentang hudhur, tentang getar dalam hati
kita akan kehadiran Allah. Inilah antara lain mutiara-mutiara Islam yang makin
terasa hilang; maka temukanlah kembali mutiara itu melalui thariqat.
Lihatlah kecintaan dan getar hati Abu Bakar. 1427 tahun yang
lalu, ketika Rasulullah harus hijrah ke Madinah. Beliau mengajak Sayidina Abu
Bakar, orang yang sangat dekat dengan Beliau untuk menjadi pendamping dalam
perjalanan menuju ke Madinah.
Sayidinia Abu Bakar dengan penuh adab yang bersungguh, kata
kuncinya dengan "Penuh Adab yang Bersungguh", di ajak ke Madinah.
Harusnya dari kediaman Beliau berjalannya adalah ke Utara, karena Madinah
secara geografis terletak di Utara dari Mekah, tetapi Rasulullah berjalan
menuju ke Tenggara. Sayyidina Abu Bakar boro-boro complain (mengeluh),
criticizing, bertanya pun tidak, jare nang Madinah, lha kok ngidul, kenapa
lewatTenggara?
Itu cerminan dari Adab. Dengan penuh kecintaan, Sayyidina
Abu Bakar yang lebih tua dari Rasulullah, yang punya kelayakan psikologis untuk
mempertanyakan, untuk meminta kejelasan seperti yang barangkali terjadi dalam
kehidupan kita sekarang yangmenjadi ruh dari reformasi, segala hal
dipertanyakan sehingga batasan antara adab dan tidak adab, luber, hilang.
Sayyidina Abu Bakar tidak bertanya, Beliau ikut saja apa
yang dibuat oleh Rasulullah, karena di hati Beliau ada "cinta" dan
“percaya" dan sesuatu yang tidak lagi perlu tawar-menawar. Rasulullah Al
Amin,tidak pernah keluar dari lidah Beliau sesuatu yang tidak patut tidak
dipercaya. Pribadinya penuh pancaran kecintaan. Mencintai dan sangat pantes
dicintai.Pribadinya begitu rupa menimbulkan `desire', suatu kerinduan. Ini
sebenarnya yang menjadi sangatpenting untuk dijelaskan.
Nabi Muhammad berjalan. Sayidina Abu Bakar mengikuti. Ketika
akan sampai, 8 km dari arah Masjidil Haram, baru Sayidina Abu Bakar sadar.
"Ooo … Mau istirahat ke Gua Tsur, karena sudah mendekati Gunung Tsur.
Ketika Rasulullah naik, Oooo…kesimpulan Sayidina Abu Bakar.” With no curiousity,
tidak dengan rewel, tidak dengan mempertanyakan, memaklumi.
Pertama-tama, dalam Islam yang kita butuhkan bukan`ngerti'
syariat, tapi cinta terhadap yang mengajarkannya dan Dzat Maha Suci yang
menurunkannya. Tanpa kacamata tersebut, tanpa rasa cinta tersebut, kita tidak
akan mengerti Islam. Islam hanya menjadi "The Matter of Transaction",
tawar menawar. Itu tidak terjadi pada Abu Bakar. Begitu Rasulullah mau naik ke
arah gua, di Jabal Tsur itu, maka kemudian Beliau (Abu Bakar) menarik kesimpulan,
"Oooo … Rasulullah mau istirahat di Gua Tsur."
Beliau (Abu Bakar) mengerti sebagai orang gurun, tidak akan
pernah ada lubang bebatuan di gunung, pasti ada ular berbisanya. Itu reason,
pikiran digunakan sesudah ‘cinta’, sesudah tulus, sesudah bersedia untuk patuh.
Itu namanya pikiran yang well enlighted, pikiran yang tercerahkan, bukan
pikiran yang cluthak (tidak senonoh), yang bisa bertingkah macam-macam,
menimbulkan problem.
Islam yg
benar benar pas adalah yang seperti dilakukan Kanjeng Nabi dan para sahabat
beliau. Mari kita berproses untuk begitu, dan tak usah ribut dengan nama nama
yang berkonotasi reduksi-diskreditasi-superioritas.
lakukan
istiqomah untuk perwujudan pola kehidupan Rasulullah dan para Sahabat sebisanya
dalam nuansa tulus, tawadlu', dan kehangatan hidup bersama merujuk nubuatan
Rasulullah dan para Sahabat secara genuine, sekarang, disini yang
simpel-simpel, memudahkan dan mudah melaksanakannya aja, gak usah repot-repot
deh.
Gitu aja kok
repot, Islam dari dulu untuk seterusnya adalah rahmat Alloh, dan selalu toleran
terhadap kadar kemanusiaan, berujung ampunan dan syafaat. kita bayarkan
kesungguhan+ahlak serta kebersihan hati+reputasi kemashlahatan kita sebagai
ummat Muhammad SAW
Thariqah
adalah pengkondisian ego agar selalu lurus. dan Seorang wali adalah orang
yang selesai melawan egonya untuk menghadirkan nabi untuk orang lain. Jadi Thariqah
adalah menghadirkan nabi dalam hati. Thariqah adalah berjalan ke akhirat dengan
bimbingan dengan harus bersungguh-sungguh, rendah hati dan semua termaktub
dalam adab dan yang terberat adalah adab terhadap syekh.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar