Semoga Allah Mensucikan Ruhnya
Ia adalah seorang Arif yang sempurna di Hadirat Ilahi. Ia adalah kunci bagi Ilmu Ilahi yang paling sulit diperoleh. Ia adalah seorang Ulama Sejati yang dihiasi Cahaya-Cahaya dari Atribut Ilahi. Ia didukung dengan Iman Sejati. Ia adalah seorang Pejuang di Jalan Allah `Azza wa Jalla. Ia adalah Suara untuk Hadirat Ilahi di zamannya. Ia adalah Syekh dari para Syekh dalam ilmu-ilmu keislaman. Ia adalah pemegang otoritas terhadap segala persoalan yang khusus, rumit, dan paling sulit di segala bidang ilmu.
Ia adalah Samudra Ilmu, bagaikan Topan bagi Spiritualitas, Air Terjun bagi Wahyu, Gunung Berapi bagi Cinta Ilahi, Pusaran Air bagi Daya Tarik dan Pelangi bagi Atribut Ilahi. Ia dibanjiri dengan ilmu bagaikan Sungai Nil ketika dilanda banjir. Ia adalah Pembawa Rahasia dari Sulthan adz-Dzikir, yang sebelumnya tidak seorang pun bisa membawanya. Ia adalah orang yang menguasai hikmah di awal abad 20 dan merupakan orang yang menghidupkannya. Ia adalah seorang yang jenius dalam Ilmu Syariah, seorang mujtahid (pembaharu) dalam ilmu Fikih, dan seorang narator hadits Nabi (s). Ratusan ulama selalu menghadiri shuhbah-nya. Ia adalah seorang mufti di zamannya. Ia juga merupakan seorang kaligrafer terbaik dalam menulis ayat al-Qur’an.
Ia adalah penasihat bagi Sultan Abdul Hamid. Ia memegang posisi Syaykh ul-Islam, pemegang otoritas keagamaan tertinggi dalam Dinasti Utsmani. Ia sangat dihormati bahkan oleh pemerintah rezim baru Turki di masa Ataturk. Hanya Syekh Syarafuddin (q) dan khalifahnya, Syekh `Abdullah (q) yang diizinkan untuk memakai turbannya di seluruh Republik Turki sekuler pimpinan Ataturk. Yang lainnya dipenjara karena memakai penutup kepala Nabi (s) itu. Mempraktikkan Islam dalam bentuk luarnya sama sekali dilarang.
Syekh Syarafuddin (q) sering mengalami keadaan dengan Penglihatan Spiritual, di mana ia akan memperoleh Manifestasi Kemegahan Ilahi (Tajalli-l-Jalal); dan pada saat itu, tidak ada orang yang dapat melihat matanya. Jika seseorang memandangnya, ia akan jatuh pingsan dan tertarik dengan kuat kepadanya. Oleh sebab itu, ketika ia sedang mengalami keadaan seperti itu, ia selalu menutupi matanya dengan cadar (burqa').
Warna kulitnya terang. Matanya biru dan janggutnya hitam. Di masa tuanya, janggutnya sangat putih, seperti kapas.
Ia dilahirkan dengan mata dan kalbu yang terbuka. Ia adalah seorang arif yang wajahnya bersinar bagaikan berlian dan kalbunya transparan bagaikan kristal. Sufisme adalah rumahnya, sarangnya, dan kalbunya. Islam adalah tubuhnya, keyakinannya, dan kepercayaannya. Hakikat adalah jalurnya, jalannya dan tujuannya. Hadirat Ilahi adalah guanya, tempat pengasingannya. Spiritualitas adalah kendaraannya. Ia merupakan lidah bagi para pengikutnya, orang-orang di Daghestan.
Ia dilahirkan di Kikunu, Distrik Ganep, Negara Bagian Timurhansuru, Daghestan, pada hari Rabu, 3 Dzul-Qaidah 1292 H. bertepatan dengan 1 Desember 1875 M. Syekh Muhammad al-Madani (q) adalah paman dan sekaligus mertuanya. Beliau memberinya kekuatan dari 6 tarekat jauh sebelum beliau wafat, dan mewariskan semua muridnya kepadanya ketika beliau masih hidup. Syekh Muhammad al-Madani (q) sering menerima pendapat dari Syekh Syarafuddin (q) dalam berbagai hal.
Ia dilahirkan di masa yang sangat sulit, ketika praktik agama dilarang dan spiritualitas telah hilang. Namun demikian ibunya berkata, “Ketika aku melahirkannya, ia mengucapkan kalimat la ilaha ill-Allah, dan setiap kali aku menyusuinya ia selalu mengucapkan Allah, Allah.” Ia menjadi sangat terkenal di masa bayinya karena keajaibannya ini. Setiap wanita di distriknya sengaja datang untuk melihatnya mengucapkan Allah, Allah ketika sedang disusui. Jari telunjuk kanannya selalu menunjukkan posisi syahadat. Sejak masa kanak-kanak, ia bisa mendengar pepohonan berzikir, bebatuan berzikir, binatang berzikir, burung berzikir, dan pegunungan berzikir.
Ia dibesarkan dengan sangat baik oleh orang tuanya dan diawasi oleh pamannya. Doanya selalu dikabulkan. Ia selalu berada dalam kondisi berkhalwat.
Ia mulai mendatangi shuhba atau asosiasi yang diadakan oleh Sayyidina Abu Ahmad as-Sughuri (q) ketika masih berusia enam atau tujuh tahun. Ia sangat pandai dan dengan segera ia dapat memahami ajaran Sufi yang disampaikan oleh Abu Ahmad as-Sughuri (q) dari Hadirat Ilahi itu.
Pada usia tujuh tahun, ia berkata kepada ibunya, “Berikanlah aku anak sapi yang akan dilahirkan itu.” Ibunya berkata, “Jika anaknya betina, aku akan memeliharanya tetapi kalau jantan aku akan memberikannya kepadamu.” Ia berkata lagi, “Jangan repot-repot ibuku, karena sapi itu akan melahirkan sapi jantan.” Ibunya berkata,”Bagaimana kau mengetahuinya?” Ia berkata, “Aku dapat melihat apa yang ada di dalam rahimnya.” Satu jam kemudian, sapi itu melahirkan seekor sapi jantan. Ia membawa anak sapi itu dan menjualnya, lalu ia membeli sepasang domba dan berniat untuk menghadiahkannya kepada Syekh Abu Ahmad as-Sughuri (q). Dalam perjalanannya ke rumah Syekhnya, kedua domba itu melarikan diri. Ia terus melanjutkan perjalanannya ke rumah Syekhnya, lalu duduk di sampingnya, hatinya sedih karena kehilangan domba itu. Syekh bertanya kepadanya, “Ada apa?” Ia menjawab, “Aku mempunyai dua ekor domba yang akan kuhadiahkan untukmu, tetapi mereka hilang.” Beberapa waktu kemudian seorang pengembala datang dan berkata, “Aku menemukan dua ekor domba ini di antara hewan-hewan gembalaanku.” Itu adalah dua ekor domba yang melarikan diri darinya.
Ketika ia masih muda, ia sering pergi bersama teman-temannya untuk mengumpulkan kayu. Ia tidak memotong kayu dari pohon sebagaimana yang dilakukan oleh teman-temannya, tetapi ia hanya mengumpulkan kayu-kayu kering di tanah. Hal ini sangat meresahkan ayahnya. Ia kemudian menemui Syekh Abu Ahmad as-Sughuri (q) dan mengeluh bahwa anaknya hanya mengumpulkan kayu-kayu kering yang tidak berguna. Syekh Abu Ahmad as-Sughuri (q) berkata kepadanya, “Mengapa kau tidak bertanya langsung kepadanya mengapa ia melakukan hal itu?” Syarafuddin muda menjawab, “Bagaimana mungkin aku memotong pohon yang masih hijau ketika ia sedang berzikir, mengucapkan la ilaha ill-Allah? Aku lebih suka mengumpulkan ranting-ranting kering, dan tidak membakar ranting-ranting yang sedang berzikir.”
Ia meninggalkan Daghestan karena militer Rusia terus-menerus melakukan serangan ke kampung-kampung di distriknya. Ia pindah bersama keluarganya dan keluarga kakaknya ke Turki. Mereka menempuh perjalanan melewati beberapa daerah selama lima bulan di musim yang dingin. Mereka berjalan di malam hari dan bersembunyi di siang hari. Mereka pertama pergi ke Bursa, lalu mereka pergi ke Yalova di tepi laut Marmara, kira-kira 150 km dari Istanbul. Di sana ia tinggal bersama kelurga dan kerabatnya di desa Rasyadiya, di mana pamannya telah lebih dulu tinggal di sana beberapa tahun sebelumnya dan membawa Tarekat Naqsybandi dari Daghestan ke Turki.
Di Daghestan ia dilatih oleh Syekh Abu Ahmad as-Sughuri (q), yang memberinya Tarekat Naqsybandi ketika ia masih sangat muda. Selanjutnya di Rasyadiya, Turki, ia dilatih oleh Sayyidina Muhammad al-Madani (q), pamannya yang kemudian menjadi mertuanya. Ia membantunya membangun madrasah dan masjid pertama serta khaniqah bagi desa itu. Pamannya menyambut semua imigran yang melarikan diri dari tirani penjajahan Rusia yang kejam. Selain itu banyak pula pelajar yang mendatangi sekolah pamannya itu dari berbagai daerah di Turki. Dengan cepat mereka membangun rumah-rumah baru di Rasyadiya dan daerah sekitarnya antara Bursa dan Yelova.
Selain Tarekat Naqsybandiya, pamannya juga menghubungkannya dengan lima tarekat lain yang dibawanya, yaitu: Qadiri, Rifai’i, Syadzili, Chisyti dan Khalwati. Ia menjadi seorang mursyid bagi keenam tarekat ini pada usia 27 tahun.
Ia menjadi sangat dihormati di Rasyadiya, terutama setelah ia menikahi putri Syekh Muhammad al-Madani (q). Ia dikenal sebagai orang yang memiliki keramat di antara para pengikutnya, dan cerita mengenai kelebihannya itu segera tersebar ke seluruh penjuru Turki. Selain itu, ia juga sangat terkenal memiliki ilmu eksternal dari agama sehingga banyak ulama besar yang datang untuk mendengar ceramahnya.
Ia telah melaksanakan beberapa khalwat di Daghestan, yang terlama adalah 3 tahun. Di pegunungan Rasyadiya ia melakukan khalwat selama enam bulan atas perintah Syekh Abu Muhammad al-Madani (q). Ia selalu berada dalam keadaan khalwat ketika sedang berada dalam keramaian.
Suatu hari di dalam masa 6 bulan khalwatnya, ketika ia berdiri dan hendak bersujud, ia menemukan seekor ular yang besar di tempat sujudnya, dengan posisi yang siap mematuknya. Ia berkata di dalam hati, “Aku tidak takut kepada siapapun kecuali Allah (swt),” lalu ia menempatkan kepalanya langsung di atas kepala ular itu. Ular itu pun segera menghilang.
Selama khalwatnya itu banyak maqam Cinta Ilahi yang diperlihatkan kepadanya. Segera setelah ia menyelesaikan khalwatnya, Syekhnya menarik diri untuk membimbing murid-muridnya dan menyerahkan seluruh tanggung jawab itu kepada Syekh Syarafuddin (q). Syekh Abu Muhammad (q) kemudian selalu mengikuti shuhba menantunya sebagai muridnya. Ia adalah Syekh pertama yang menjadi murid dari muridnya. Karena kepatuhan terhadap desakan Syekhnya agar ia duduk di kursi tertinggi, Syekh Syarafuddin (q) kemudian menjadi orang yang memberikan ajaran Mata Rantai Emas walaupun berada dalam kehadiran Syekhnya.
Syekh Syarafuddin (q) mendapat dukungan spiritual dari Sayyidina Syekh Jamaluddin al-Ghumuqi al-Husayni (q) dan Sayyidina Syekh Abu Ahmad as-Sughuri (q), Syekhnya di Daghestan. Ia mencapai maqam Cinta yang Murni bagi Allah (swt). Pada maqam itu ia merasakan tubuhnya seolah-olah terbakar dengan Cinta dari Hadirat Ilahi, dan ia akan berlari dari khalwatnya, menanggalkan semua pakaiannya dan menyelam ke dalam air sungai yang dingin seperti es di musim dingin. Setiap kali ia melakukan hal itu, seluruh penduduk desa dapat mendengar suara gemuruh uap yang berasal dari sungai, seperti suara besi panas yang disiram air. Ada seorang murid Syekh Syarafuddin (q) yang masih hidup sampai sekarang (1994), yang ingat bahwa ia pernah mendengar suara gemuruh air dan uap dari jarak ratusan yard.
Syekh Syarafuddin (q) merupakan seorang pewaris spiritual Nabi (s). Melalui hubungan spiritual itu, ia mencapai maqam kesempurnaan. Ia adalah keturunan dari keluarga Miqdad bin al-Aswad (r), salah seorang Sahabat Utama Nabi (s), yang sering mewakili Nabi (s) ketika beliau (s) sedang bepergian dari Madinah. Beliau melaporkan 42 hadits Nabi (s), di antaranya adalah:
Rasulullah (s) bersabda, “Pada Hari Pembalasan matahari akan mendekati makhluk hingga berjarak kira-kira 1 mil dari mereka, manusia akan mengeluarkan keringat sesuai dengan perbuatan yang mereka lakukan, sebagian keringat mereka mencapai pergelangan kaki, sebagian lagi mencapai lutut, atau pinggang, sementara yang lain mendapati mulutnya penuh dengan keringat,” dan Rasulullah (s) menunjukkan tangannya ke mulutnya. (riwayat Muslim)
Syekh Syarafuddin (q) mempunyai tanda lahir berupa tapak tangan Nabi (s) di punggungnya. Tanda lahir ini ia dapatkan dari leluhurnya, Miqdad bin al-Aswad (r), di tempat di mana Nabi (s) meletakkan tangannya di punggungnya dan berdoa baginya dan untuk keturunannya. Tanda di punggung Sayyidina Syekh Syarafuddin (q) selalu mengeluarkan cahaya, sama halnya dengan wajahnya yang selalu bercahaya. Ia menerima rahasia dari Nabi (s), yaitu kemampuan untuk melihat sesuatu yang berada di belakangnya sejelas apa yang berada di depannya.
Pamannya, Syekh Muhammad al-Madani (q), memberinya Khilafat (suksesi) tarekat ini, dan menjadikannya sebagai pemimpin di desanya. Ia mengembangkan desanya agar dapat menampung lebih banyak emigran, dengan memperluas jalan, dan membuat saluran air ke dalam kota. Ia selalu menyambut emigran yang datang dari Rusia, menawarkan apa yang mereka butuhkan baik berupa makanan maupun tempat tinggal dan ini dilakukan tanpa mengharapkan imbalan. Hasilnya, penduduk Daghestan merasa menemukan rumah yang baru menggantikan rumah yang telah mereka tinggalkan kepada Rusia, mereka menemukan kebahagiaan dan kedamaian di tanah yang baru. Para emigran merasa lebih bahagia untuk berkumpul bersama seorang Syekh yang masih hidup yang membawa ajaran yang telah berkembang di Daghestan, sebagaimana di Asia Tengah ratusan tahun sebelumnya. Bersamanya di desa mereka, dan diberkati dengan keberadaannya yang membawa Rahmat Ilahi, mereka menemukan cinta dan kebahagiaan yang telah hilang di bawah tirani tentara Rusia.
Dari Kata-Katanya
Mengenai Sulthan adz-Dzikr (Zikir Kalbu)
Ia berkata mengenai Maqam Zikir Kalbu:
“Siapapun yang memasuki maqam itu, ia akan mengalami dan mencapai Inti dari Asma Allah. Itu adalah Sultan dari seluruh Asma Allah, karena ia mencakup seluruh makna Asma-Asma itu dan kepadanyalah seluruh Sifat Ilahi kembali. Ia bagaikan Kata yang berlaku untuk semua Sifat ini dan itulah sebabnya mengapa ia disebut Ism al-Jalalah, Nama Yang Paling Mulia karena Dia Yang Mahatinggi, Mahasuci, dan Mahabesar.”
“Melalui pemahaman akal saja tidak mungkin bisa memanen buah dari rahasia-rahasia ini. Tubuh manusia tidak dapat mencakup Hakikat Makna mengenai Tuhan. Tubuh manusia mustahil mencapai Kerajaan yang Tersembunyi dari Yang Maha Unik. Karena bagi Ahlul Dzat, yang mereka miliki hanyalah rasa kagum dan takjub, sekali mereka memasuki Maqam Ilm al-Ghayb, mereka akan lenyap, mengembara. Lalu bagaimana dengan Ahlul Sifaat, yaitu orang-orang yang mempunyai kualitas tinggi dan pada diri mereka tampak suatu Sifat Allah yang disandangkan pada mereka? Tetap saja mereka tidak bisa dihiasi dengan Inti dari Asma yang mencakup seluruh Asma, kecuali dengan memasuki Rahasia Yang Tersembunyi dari 99 Asma tersebut. Pada saat itulah mereka baru diizinkan untuk mencapai Maqam Tersingkapnya Cahaya dari Asma yang mencakup seluruh Asma wal Sifaat, Asma Allah.”
“Jika seorang salik terus melakukan zikir dengan Asma Allah Yang Mahasuci, ia akan mulai berjalan dalam tahapan zikir itu, yang jumlahnya ada tujuh. Setiap salik yang terus melakukan zikir Allah dalam hati, dari 5000 sampai 48.000 kali sehari, akan mencapai tingkat kesempurnaan sehingga ia akan menjadi sempurna dalam zikir itu. Pada saat itu ia akan menemukan bahwa kalbunya terus mengucapkan Asma Allah, Allah; tanpa perlu menggerakkan lidahnya. Ia akan membangun kekuatan internal dengan membakar semua najis di dalamnya karena Api Zikir melalap semua najis itu. Tidak ada yang tersisa kecuali permata yang bersinar dengan kekuatan spiritualnya.
“Ketika zikir masuk dan menjadi kokoh dalam kalbunya, ia akan meningkat lagi sampai ia mencapai maqam di mana ia bisa mengetahui zikir yang dilakukan oleh seluruh ciptaan Allah. Ia akan mendengar seluruh makhluk mengucapkan kalimat zikir dengan cara yang telah ditetapkan oleh Allah kepadanya. Ia mendengar setiap makhluk berzikir dengan nada masing-masing dan irama yang berbeda satu sama lain. Pendengarannya terhadap yang satu tidak mempengaruhi pendengarannya terhadap yang lain, ia mampu mendengar semuanya secara simultan dan ia bisa membedakan masing-masing jenis zikir.”
“Ketika salik melewati maqam itu, ia akan mengalami peningkatan lebih jauh dalam zikirnya, ia akan melihat bahwa setiap orang yang diciptakan oleh Allah melakukan zikir yang sama dengan dirinya. Pada saat itu ia akan menyadari bahwa ia telah mencapai Kesatuan Yang Unik dan Sempurna. Semua melakukan zikir yang sama dan menggunakan kata yang sama. Segala macam perbedaan akan dihapuskan dari pandangannya, dan ia akan melihat semua orang yang bersamanya mempunyai tingkatan yang sama dengan zikir yang sama pula. Ini adalah Maqam Penyatuan Setiap Orang dalam Satu Kesatuan. Di sini ia akan menarik semua bentuk syirik yang tersembunyi sampai ke akar-akarnya dan semua makhluk akan tampak sebagai Satu Kesatuan. Ini adalah langkah pertama dari tujuh langkah dalam perjalanannya.”
“Dari Maqam Kesatuan itu ia akan menuju ke Maqam Inti dari Kesatuan, di mana setiap orang yang Ada menjadi Tidak Ada (fana), dan hanya Kesatuan Allah saja yang muncul.”
“Kemudian ia akan menuju Maqam Primordial (paling dasar) dari Kesederhanaan Yang Sempurna, di mana ia bisa tampil dalam wujud apa saja.”
“Dari sana ia akan menuju Maqam Kunci dari Rahasia, yang dikenal dengan Maqam Nama-Nama, di mana tipe asli dari setiap makhluk ditunjukkan kepadanya dari alam gaib menuju dunia yang nyata. Ini akan membuatnya berenang dalam orbit Asma wal Sifat dan ia akan mengetahui semua Ilmu Yang Tersembunyi.”
“Selanjutnya ia akan menuju Maqam Yang Tersembunyi dari Yang Tersembunyi, Inti dari semua Yang Tersembunyi. Ia akan mengatahui semua Yang Tersembunyi melalui Kesatuan yang Unik dari Inti. Ia akan melihat semua kekuatan dan bentuknya.”
“Dari sana ia menuju Maqam Hakikat Sempurna dari Inti Asma dan Perbuatan. Ia akan muncul di dalam mereka semua, dalam atom mereka dan dalam totalitas mereka. Ia akan disandangkan dengan Asma Yang Paling Agung dan ia akan diagungkan dan dimahkotai dengan Maqam Kebesaran.”
“Kemudian ia akan menuju ke Maqam Turunnya Allah (munazala) dari Maqam-Nya Yang Agung menuju Maqam Surga Duniawi. Ia sampai pada Maqam tersebut, yang terdekat dengan Maqam Duniawi, di luar itu para Pembaca Zikir tidak mempunyai maqam lain untuk dicapai melalui bacaannya. Fajar datang ke dalam dirinya dan Mentari Kesempurnaan tampak dalam diri dan tubuhnya, sebagaimana ia telah muncul melalui zikir, di dalam kalbu dan jiwanya. Sebagai hasilnya, ketika Mentari Kesempurnaan tampak pada tubuh dan seluruh anggota tubuhnya, ia akan berada pada maqam yang telah disebutkan dalam sabda Rasulullah (s), “Allah akan menjadi Telinga yang dipakainya untuk mendengar, Mata yang dipakainya untuk melihat, Lidah untuk berbicara, Tangan untuk menggenggam, dan Kaki untuk berjalan.” Kemudian ia akan mendapati dirinya berikrar pada dirinya sendiri bahwa, ‘Aku tidak berdaya dan sungguh lemah.’ Karena pada saat itu ia telah memahami makna Kekuatan Ilahi.”
Setiap kali ia dimintai nasihat jika ia mengatakan, “Lakukan apa yang kau inginkan,” orang itu tidak akan berhasil. Tetapi bila ia berkata, “Lakukan ini dan lakukan itu,” orang itu akan berhasil.
Dikatakan bahwa ia tidak pernah suka menyebutkan sesuatu yang telah berlalu. Ia tidak akan menerima suatu gunjingan dan ia akan mengusir orang-orang yang suka bergunjing dari asosiasinya.
Dilaporkan pula bahwa setiap kali orang-orang berkumpul dalam asosiasinya, kecintaan terhadap dunia akan lenyap dari kalbu mereka.
Ia sering mengatakan, “Janganlah engkau duduk tanpa berzikir, karena kematian selalu mengikutimu.”
Ia berkata, “Peristiwa yang paling membahagiakan bagi manusia adalah ketika ia meninggal dunia, karena pada saat itu dosanya juga ikut mati bersamanya.”
Ia berkata, “Setiap salik yang tidak membiasakan diri dan melatih dirinya untuk berpuasa di siang hari dan bangun di malam hari untuk beribadah dan melayani saudaranya, tidak akan memperoleh kebaikan dalam tarekat ini.”
Pengungkapan Syah Naqsyband (q) mengenai Syekh Syarafuddin (q)
Penerusnya yang merupakan Grandsyekh kita, Syekh `Abdullah ad-Daghestani (q), menceritakan kisah berikut di dalam salah satu pertemuan dengannya:
“Suatu saat, di dalam salah satu khalwatku, Syekh Syarafuddin (q) mendatangiku dan mengatakan tentang kebesaran dan keistimewaan Syah Naqsyband (q). Ia memujinya dan mengatakan bagaimana Syah Naqsyband (q) akan memberikan pertolongan pada Hari Kiamat. Ia mengatakan, ‘Jika seseorang melihat mata Syah Naqsyband (q), ia akan melihat mata beliau berputar, bagian yang putih di bagian yang hitam dan yang hitam di yang putih. Beliau bermaksud menyimpan kekuatan spiritualnya untuk Hari Kiamat dan tidak menggunakannya di dunia ini.”
“Pada Hari Kiamat beliau akan mengeluarkan cahaya dari mata kanannya, cahaya itu lalu mengelilingi sejumlah besar manusia di dalam pertemuan itu dan masuk kembali ke mata kirinya. Siapapun yang masuk ke dalam lingkaran cahaya itu akan diselamatkan dari Neraka dan masuk ke Surga. Beliau akan memenuhi empat Surga dengan pertolongannya itu.”
“Ketika ia sedang menggambarkan peristiwa besar itu, aku mendapatkan penglihatan spiritual yang kuat di mana aku menyaksikan peristiwa di Hari Kiamat dan melihat Syah Naqsyband (q) mengeluarkan cahaya, dan menyelamatkan manusia. Ketika Aku sedang mengamati penglihatan itu, aku merasakan cinta yang sangat dalam kepada Syah Naqsyband (q), lalu aku berlari menuju beliau dan mencium tangannya. Kemudian penglihatan itu menghilang dan Syekhku pergi. Aku melanjutkan khalwatku pada hari itu dengan berzikir, membaca al-Qur’an dan melakukan salat. Di malam harinya, setelah melaksanakan salat ‘Isya, aku mengalami keadaan tidak sadarkan diri dan menyebabkan aku mengalami keadaan kasyaf (memperoleh penglihatan spiritual). Aku melihat Syah Naqsyband (q) memasuki ruangan. Beliau berkata kepadaku, ‘Anakku, datanglah kepadaku.’ Kemudian rohku meninggalkan jasad dan aku melihat tubuhku berada di bawahku dan tidak bergerak. Aku lalu menemani Syah Naqsyband (q).”
“Kami menjelajahi ruang dan waktu, bukan dengan kekuatan melihat lalu mencapai tempat yang dilihat itu, tetapi dengan kekuatan di mana ketika kami baru memikirkan suatu tempat, kami sudah tiba di tempat itu. Selama tiga malam dan empat hari non-stop, kami melakukan perjalanan dengan cara ini.”
“Sudah menjadi kebiasaan dalam khalwatku, bahwa ketika aku menginginkan makanan dan minuman sehari-hari, aku tinggal mengetuk pintu. Mendengar ketukan dari lantai bawah, istriku akan membawakan makanan dan minuman untukku. Hari pertama ia tidak mendengar ketukan, hari kedua juga begitu. Akhirnya ia merasa sangat khawatir dan membuka pintu dan menemukan aku terbaring di sana tanpa gerakan. Ia berlari menghampiri Syekh Syarafuddin (q) dan berkata, ‘Lihatlah putramu. Ia terlihat seperti orang yang sudah meninggal dunia. Ia berkata kepadanya, ‘Ia tidak meninggal. Kembalilah, dan jangan berbicara kepada siapapun. Ia akan kembali.’
“Setelah tiga hari dan empat malam menempuh perjalanan dengan kekuatan yang luar biasa, Syah Naqsyband (q) berhenti. Beliau berkata, ‘Tahukah kau siapa yang tampak di cakrawala itu?’ Tentu saja aku tahu, tetapi untuk menghormatinya, aku berkata, ‘Wahai Guruku, kau yang lebih tahu.’ Lalu ketika orang itu mendekat beliau berkata, ‘Sekarang apakah kau mengenalinya?’ Aku berkata lagi, ‘Kau lebih tahu, wahai Guruku,’ walaupun Aku melihat itu adalah Syekhku. Beliau berkata, ‘Itu adalah Syekhmu, Syekh Syarafuddin (q).”
“Tahukah kau siapa makhluk yang berada di belakangnya?’ menunjuk kepada sosok makhluk raksasa yang lebih besar daripada gunung yang paling tinggi di bumi ini, yang ditariknya dengan sebuah tali. Untuk menghormatinya aku berkata lagi, ‘Kau yang paling tahu, wahai Syekhku.’ Beliau berkata, ‘Itu adalah Setan, dan Syekhmu diberi wewenang terhadapnya, dan belum ada orang yang diberi wewenang semacam itu sebelumnya. Sebagaimana setiap wali diberi kewenangan atas sesuatu yang khusus, begitu pula Syekhmu. Bidang khususnya adalah bahwa setiap hari dan setiap malam, atas nama seluruh orang yang telah melakukan dosa karena pengaruh Setan, Syekhmu diberi kewenangan untuk membersihkan orang-orang itu dari dosa-dosa mereka, dan mengembalikan dosa itu kepada Setan, dan membawa orang-orang itu dalam keadaan bersih kepada Rasulullah (s). Kemudian dengan kekuatan spiritualnya, ia mengangkat kalbu mereka, mempersiapkan mereka agar bisa masuk ke dalam lingkaran cahaya yang akan kusebarkan di Hari Kiamat nanti. Aku akan mengisi empat Surga dengan cara ini. Inilah yang menjadi spesialisasi Syekh Syarafuddin (q). Selain itu, orang-orang yang tidak termasuk di dalam keempat Surga itu akan memasuki Perantaraan Syekh Syarafuddin (q), dengan seizin Rasulullah (s) yang telah diberi kekuatan ini oleh Allah (swt). Ini adalah kewenangan yang luar biasa yang telah diberikan kepada Syekh Syarafuddin (q). Ketika ia membelenggu leher Setan, ia membatasi pengaruh dosa di bumi ini.”
“Kemudian beliau berkata, ‘Wahai anakku, kau menanam benih cinta di dalam kalbumu. Seperti halnya kincir air yang mengairi sepetak sawah tetapi tidak bisa mengairi dua petak sawah, cinta yang kau tumbuhkan terhadap Syekhmu seharusnya hanya untuk Syekhmu. Jika engkau membaginya untuk dua orang Syekh, mungkin cinta itu tidak akan mencukupi, seperti halnya kincir air yang tidak bisa mengairi dua petak sawah. Jangan berikan kalbumu kebebasan untuk pergi ke sana ke mari. Cintamu akan mencapaiku melalui Mata Rantai Emas dan akan berlanjut kepada Rasulullah (s). Jangan membagi dua cintamu untuk kami berdua. Sebelumnya tak seorang wali pun yang diberi kewenangan seperti yang diberikan kepada Syekhmu untuk umat Muhammad (s), untuk seluruh umat manusia.’”
“Kemudian Syah Naqsyband (q) membawaku kembali menempuh perjalanan dengan kekuatan yang luar biasa, selama empat hari dan tiga malam. Aku kembali ke tubuhku semula. Aku merasakan jiwaku memasuki tubuhku dan aku menyaksikan jiwaku masuk ke dalam tubuhku sedikit demi sedikit, sel demi sel, dan melalui penglihatan itu aku bisa mengerti fungsi dari setiap sel. Kemudian penglihatan spiritual itu berhenti dan aku mengetuk pintu agar istriku membawakan makanan dan minuman untuk memberi energi bagi tubuhku. Itulah pengungkapan Syah Naqsyband (q) mengenai Syekhku, Syekh Syarafuddin (q).”
Salah satu murid Syekh Syarafuddin (q) yang berusia 120 tahun dan tinggal di Bursa, Eskici Ali Usta melaporkan,
“Syekhku adalah seorang Syekh yang luar biasa. Suatu saat ketika aku masih muda, aku berada di Istanbul, dan baru saja mengambil bay’at tarekat ini dengan Syekh Syarafuddin (q). Kemudian aku bertemu dengan salah seorang teman dari Daghestan yang keras kepala dan tidak percaya dengan Sufisme. Aku bermaksud untuk berbicara dan melunakkan hatinya dengan menceritakan keramat yang dimiliki Syekhku. Ternyata ia lebih meyakinkan dan mampu mengubah keyakinanku. Aku menggantung tasbihku di dinding dan berhenti berzikir. Tak lama kemudian aku sudah dikuasai hawa nafsu dan melakukan dosa besar dua kali.”
“Seminggu kemudian, aku pergi ke Sirkici dan melihat Syekh dalam perjalanan. Ia juga sedang berjalan kaki di distrik itu, dalam perjalanannya menuju Rasyadiya. Ketika aku melihatnya datang dari satu sisi, aku pindah ke sisi yang lain, dan berusaha untuk menghindarinya. Ketika aku bersembunyi di ujung jalan, aku merasakan sebuah tangan menempel di bahuku dan Syekh berbicara kepadaku, ‘Mau kemana, wahai Ali?’ Aku kembali bersamanya dan di tengah perjalanan aku berpikir, ‘Aku tidak bisa menyembunyikan diriku lagi darinya, tetapi Syekh tidak dapat membawaku kembali lagi.”
“Kami melanjutkan perjalanan sampai bertemu dengan seseorang yang bernama Huseyyin Effendi. Syekh berkata kepadaku, ‘Ketika kau pertama kali datang kepadaku, Aku melihatmu dan menemukan akhlak buruk di dalam dirimu. Setiap orang mempunyai akhlak yang baik yang bercampur dengan akhlak yang buruk. Ketika kau mengambil bay’at seluruh perbuatan buruk yang telah kau lakukan sebelumnya, aku ganti dengan perbuatan yang baik. Kecuali dua hal, yaitu nafsu syahwat dan kemarahan. Minggu lalu kami hilangkan kedua akhlak buruk itu dari dirimu.’ Ketika ia mengucapkan hal itu, aku sadar bahwa ia telah duduk bersamaku dan melihat nafsu syahwat dan kemarahanku, aku mulai menangis, menangis, dan menangis. Ketika aku menangis, Syekh Syarafuddin (q) mulai berbicara dengan orang yang bernama Huseyyin dalam bahasa yang tidak pernah kudengar sebelumnya, padahal aku berasal dari Daghestan dan aku mengetahui semua bahasa di daerahku. Akhirnya aku tahu bahwa Syekh Syarafuddin (q) berbicara dalam bahasa Syriac, bahasa yang langka dan sangat jarang digunakan.”
“Setelah dua jam menangis, ia berkata, ‘Cukup! Allah (swt) telah mengampunimu, Rasulullah (s) juga telah mengampunimu.’ Aku berkata, ‘Wahai Syekhku, apakah engkau benar-benar mengampuniku? Apakah Rasulullah (s) telah mengampuniku? Apakah Allah (swt) telah mengampuniku? Apakah para Syekh yang matanya terbuka telah mengampuniku? Aku pikir aku melakukan perbuatan itu sendirian, tetapi sekarang aku tahu bahwa kalian semua melihatku.’ Ia berkata, ‘Wahai anakku, kita adalah hamba-hamba yang berada di pintu Rasulullah (s) dan di pintu Allah (swt). Apapun yang kita minta dari Mereka, Mereka akan menerima permintaan kita karena kita berada dalam hadirat mereka dan kita adalah Satu.’ Aku berkata, ‘Sebagai suatu itikad baik, karena aku telah diampuni, bagaimana aku bisa bersyukur kepada Allah (swt) dan memberi penghormatan kepadamu dan kepada Rasulullah (s)? Apakah dengan jalan merayakan mawlid Nabi (s), atau berkurban, atau mengeluarkan sedekah lainnya?’ Ia mengatakan, ‘Yang kami inginkan darimu adalah agar kau senantiasa melakukan zikir Tarekat Naqsybandi.’ Inilah yang terjadi pada diriku bersama Syekh Syarafuddin (q).”
Salah satu teman Eskici Ali Usta yang telah bermigrasi dengannya dari Daghestan menerima sepucuk surat dari Syekh Syarafuddin (q) ketika ia masih berada di Daghestan, isinya berbunyi, “Tinggalkan Daghestan. Tidak ada lagi spiritualitas di sana. Daghestan tidak lagi berada di bawah Perlindungan Ilahi karena di sana terlalu banyak penindasan. Datanglah ke sini, ke Turki, dan ke Rasyadiya.” Orang itu meletakkan surat dari Syekh, mengabaikannya dan berpikir, “Bagaimana Aku meninggalkan semua kekayaanku dan semua yang kumiliki di sini?” Beberapa saat kemudian Rusia menguasai kota itu dan menyita semua kekayaannya. Lalu ia teringat dengan surat yang dikirim oleh Syekh. Akhirnya ia segera menyusun rencana untuk melarikan diri ke Turki dan ke Rasyadiya. Namun ia telah kehilangan keluarga dan semua kekayaannya akibat penundaannya itu.
Suatu saat Syekh Syarafuddin (q) datang ke Istanbul dan tinggal di Hotel Massarat. Ia ditanya oleh seseorang yang bernama Syekh Zia, “Bagaimana engkau akan wafat?” Ia menjawab, “Apakah pertanyaan itu penting bagimu, bagaimana aku akan meninggal dunia?” Ia menjawab, “Pertanyaan itu datang begitu saja ke dalam hatiku.” Ia berkata, “Aku akan meninggal ketika kita mendapat serangan dari Armenia, dan pada saat itu banyak sekali orang-orang yang zalim.” Malam harinya Syekh Zia berwudu lalu salat 2 rakaat dan memohon kepada Allah, “Ya Allah, singkirkanlah kesulitan itu dari kami, serangan dari Armenia, dan panjangkanlah usia Syekh kami tercinta.” Hari berikutnya Syekh Syarafuddin (q) berkata kepadanya, “Wahai Syekh Zia, apa yang telah kau lakukan sepanjang malam, berdoa? Doamu telah dikabulkan. Kesulitan itu telah dicabut dari diriku tetapi sebagai gantinya kau akan menderita dan wafat sebagai syuhada.” Delapan tahun setelah insiden di hotel itu, bangsa Armenia dan Yunani memasuki Rasyadiya. Zia Effendi tertembak mati, dan apa yang telah diprediksi oleh Syekh Syarafuddin (q) menjadi kenyataan.
Yusuf Effendi, seorang yang pada tahun 1994 berusia sekitar 100 tahun, menceritakan kisah berikut,
“Suatu ketika Syekh Syarafuddin (q) ditahan di Eskisehir, dan aku adalah penjaganya. Di penjara itu ada juga seorang yang terpandang, seorang Syekh yang terkenal, Sa`id Nursi. Syekh Syarafuddin (q) ditahan bersama khalifahnya, Syekh `Abdullah (q), dan murid-murid yang lain. Ketika Sa`id Nursi mengetahui bahwa Syekh Syarafuddin (q) ditahan dalam penjara yang sama, ia mengutus muridnya untuk bertanya apakah Syekh Syarafuddin (q) membutuhkan sesuatu dan juga menawarkan bantuan. Syekh Syarafuddin (q) menjawab, ‘Terima kasih, tetapi kami tidak memiliki apa-apa, dan kami tidak memerlukan apa-apa.’”
“Murid Sa`id Nursi tetap mendatangi Syekh Syarafuddin (q), bertanya apakah ia memerlukan sesuatu. Namun ia selalu menolaknya. Suatu hari Syekh Syarafuddin (q) berkata kepada murid itu untuk menyampaikan pertanyaan kepada Syekhnya, ‘Mengapa kita berada di sini?’ Murid Sa`id Nursi itu pergi menemui gurunya. Ia menjawab, ‘Kita berada di sini untuk mencapai maqam Sayyidina Yusuf (q), Maqam Pilihan Diam.’ Setelah murid itu bertanya dan Syekh Sa`id Nursi memberi jawaban, pembicaraannya pun berakhir.”
“Perubahan ini membuatku bingung dan aku mulai merenungkannya secara mendalam. Kemudian aku bertanya kepada Syekh, ‘Apa rahasia keberadaanmu di sini?’ Akhirnya, atas desakanku, Syekh Syarafuddin (q) menjawab, ‘Aku dikirim ke sini untuk membawa rahasia orang banyak, orang-orang yang dipenjarakan tanpa sebab. Aku memberi dukungan kepada orang-orang ini. Allah (swt) mengutusku ke sini, karena kalian semua berkumpul di sini, dan sangat sulit untuk mengumpulkan kalian. Aku berada di sini untuk mengucapkan salam perpisahan kepada kalian, karena kami akan segera akan meninggalkan dunia ini. Kami akan menyampaikan kepadamu mengenai rahasia-rahasiamu. Bagi kami tidak ada istilah penjara, kami selalu berada dalam Hadirat-Nya dan kami tidak pernah terpengaruh dengan penjara. Kalian semua akan meninggal dunia kelak, tetapi kalian akan bertemu lagi, ketika seorang tokoh penting akan wafat barulah kalian semua akan bertemu kembali.’ Murid-murid Sa`id Nursi mendengar hal ini sebagaimana para tahanan lain yang mendengarkan dengan penuh antusias.”
Mengenai Wafatnya
Setelah sekitar tiga bulan, ia dibebaskan dari penjara. Ia berkata kepada Syekh `Abdullah (q), “Aku akan segera pergi, karena aku terlalu menguras tenagaku untuk menyarikan rahasia Surat al-An'am.” Ia meninggalkan wasiat baginya, dan menunjuk Syekh `Abdullah (q) untuk menjadi penerusnya di Singgasana Pembimbing.
Tiga hari menjelang wafatnya, ia memanggil Sulthan ul-Awliya Mawlana Syekh `Abdullah al-Faiz ad-Daghestani (q) beserta beberapa pengikutnya, kemudian ia berkata, “Selama tiga bulan aku telah menyelami Samudra Surat al-An'am untuk mengeluarkan seluruh nama dari Tarekat Naqsybandi yang berjumlah 7007 dari salah satu ayatnya. Alhamdulillah, Aku berhasil mendapatkan nama-nama mereka beserta seluruh gelarnya dan aku telah mencatatnya pada catatan harianku yang kuberikan kepada penerusku, Syekh `Abdullah (q). Catatan itu berisi nama-nama berbagai kelompok wali yang berbeda-beda yang akan hadir pada masanya Imam Mahdi (a).”
Keesokan harinya ia memanggil khalifahnya, Syekh `Abdullah ad-Daghestani (q) dan ia berkata, “Wahai anakku, inilah wasiatku. Aku akan pergi dalam dua hari ini. Atas perintah Rasulullah (s), aku menunjukmu sebagai penerusku dalam Tarekat Naqsybandi, bersama dengan lima tarekat lain yang telah kuterima dari pamanku. Seluruh rahasia yang pernah diberikan kepadaku dan seluruh kekuatan yang telah disandangkan kepadaku dari para pendahuluku di Tarekat Naqsybandi dan kelima tarekat lainnya, kini kusandangkan kepadamu. Seluruh murid yang kau bay’at dalam Tarekat Naqsybandi, juga dengan sendirinya akan di-bay’at dalam kelima tarekat lainnya dan akan menerima rahasia-rahasia mereka. Tak lama lagi akan ada suatu pembukaan bagimu untuk meninggalkan Turki dan pergi menuju Damaskus (Syam asy-Syarif) [yang pada saat itu amatlah sulit untuk dicapai karena peperangan yang hebat].”
Syekh `Abdullah (q) berkata, “Ia memberikan wasiat itu dan aku berusaha menyembunyikannya sebagaimana aku ingin menyembunyikan diriku sendiri.”
Ia wafat pada tanggal 27 Jumadil Awwal, Ahad, 1355 H./1936 M. di Rasyadiya. Ia dimakamkan di pemakaman Rasyadiya, di suatu puncak bukit. Hingga kini masjid dan zawiyahnya masih terbuka, dan banyak orang mengunjunginya untuk mendapatkan rahmat dan berkahnya. Awrad yang sama yang dulu dikerjakan oleh Syekh Syarafuddin (q), Khatam Khwajagan (Zikir para Khwaja, Guru) masih ada di sana, tergantung di dinding.
Grandsyekh kita, Syekh `Abdullah (q), khalifah dan penerus Sayyidina Syekh Syarafuddin (q) berkata, “Ketika berita wafatnya diketahui, semua orang datang ke rumahnya untuk mendapatkan berkahnya. Bahkan Ataturk, Presiden Republik Turki yang baru, mengirimkan delegasi kehormatannya. Kami memandikan jenazahnya. Ketika kami membaringkannya untuk dimandikan, ia menggerakkan kedua tangannya ke pahanya untuk menampung air yang tercurah darinya ketika kami memandikannya, sehingga semua muridnya dapat minum dari air pemandian tersebut. Ketika semua muridnya telah selesai minum, ia kembali menggerakkan tangannya ke tempat semula. Itulah keramat dari Samudra Keramatnya, dan itu terjadi bahkan setelah kematiannya.”
“Ketika kami menguburkan jenazahnya keesokan harinya, lebih dari 300.000 orang datang ke pemakamannya dan kota pun tidak mampu mengakomodasi kerumunan massa tersebut. Mereka datang dari Yalova, Bursa dan Istanbul. Sungguh merupakan kerumunan massa yang besar, semuanya berduka. Kaum pria menangis, kaum wanita menangis, anak-anak pun menangis juga. Semoga Allah (swt) mengangkat derajat para awliya-Nya di setiap abad.”
Salah satu muridnya, Yusuf Effendi mengatakan, “Memang benar bahwa kami tidak pernah bersama-sama dengan seluruh muridnya di suatu tempat yang sama—karena kami terlalu banyak—namun pada saat wafatnya, seluruh kota mendengar, Bursa, Adapazar, Yalova, Istanbul, Eskisehir, Orhanghazi, Izmir, dan seluruh penduduknya bergabung untuk menyelenggarakan Salat Jenazah.”
Syekh Syarafuddin (q) telah menulis banyak buku, namun semuanya hilang selama Perang Balkan. Namun demikian, banyak manuskrip yang masih tersisa pada keluarganya, yang berisi rahasia dari Tarekat Naqsybandi. Para pengikutnya mendatangi mereka untuk membaca buku-buku tersebut.
Ia mewariskan Rahasianya kepada penerusnya, Sulthan ul-Awliya, Mawlana wa Sayyidina Syekh `Abdullah al-Faiz ad-Daghestani (q).
http://www.naqshbandi.org/golden-chain/the-chain/sharafuddin-ad-daghestani-qaddasa-l-lahu-sirrah/
https://docs.google.com/document/d/1QAaA0FOci3REvT-iCFW55_-OOhr2a2DJysLNuuSvK1w/edit
http://naqsybandi.com/silsilah-emas/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar